Sejak permulaan abad ke-20, budidaya ikan mas yang dilakukan di kolam dan di sawah mulai berkembang ke beberapa daerah di luar pulau Jawa. Di Bukittinggi (Sumatera Barat), ikan mas didatangkan pada tahun 1892 dan mulai berkembang pada tahun 1903. Di Padang sidempuan (Sumatera Utara), ikan mas didatangkan pada tahun 1903.
Ikan mas dulunya bukanlah ikan yang digunakan dalam setiap upacara adat Batak, melainkan ikan ihan yakni sejenis ikan jurung yang hanya hidup di Perairan Danau kabupaten Samosir yang berdekatan dengan kabupaten Tapanuli Utara. Penangkapan ikan ini tidak boleh sembarangan karena ikan ini dianggap suci dan hanya boleh ditangkap pada saat upacara adat Batak saja, karena itu dikenal istilah dekke Si Tiho (ikan suci).
Menurut pengamat budaya Batak, dekke si Tiho ini diberikan dengan harapan supaya orang yang menerima ikan ini dapat bersih baik hati maupun perilakunya. Ukuran ikan yang digunakan biasanya beragam, bergantung pada masing-masing orang. Dari siku hingga ujung jari tangan merupakan ukuran terpanjang ikan ini. Sementara ukuran terkecilnya yaitu satu setengah jengkal tangan manusia dewasa. Karena mulai langka, mak ikan ini diganti dengan ikan mas hingga saat ini. Selain lebih ekonomis, ikan mas juga mudah untuk dikembangbiakkan. Ikan ini memang harus selalu ada dalam upacara adat Batak.
Ikan mas yang diberikan haruslah dalam jumlah ganjil, yaitu satu, tiga, lima, tujuh. Masing-masing jumlah ini memiliki arti sesuai dengan ketentuan adat Batak. Artinya yaitu :
- Satu ekor diperuntukkan bagi pasangan yang baru menikah
- Tiga ekor bagi pasangan suami- istri yang mendapatkan anak
- Lima ekor bagi orang tua yang sudah mempunyai cucu
- Tujuh ekor diperuntukkan bagi pemimpin bangsa Batak saja. Dan jarang dipergunakan dikarenakan jumlah ini dianggap sudah melewati batas masa kehidupan seseorang.
Penyajian ikan ini pada dasarnya tidak boleh sembarangan dikarenakan banyaknya makna yang terkandung didalamnya. Ikan yang akan disajikan haruslah tetap dalam kondisi utuh, mulai dari kepala hingga ekor. Sisiknya pun tidak boleh dibuang. Ini melambangkan gambaran utuh kehidupan manusia. Ikan tidak boleh dipotong-potong karena orang yang menerimanya tidak akan memperoleh keturunan, memotong-motong ikan ini sama artinya dengan mengharapkan orang yang menerimanya tidak memperoleh keturunan.
Selain itu juga harus disajikan dalam posisi berenang dengan kepala menghadap ke orang yang menerimanya. Bila jumlahnya lebih dari satu, maka semua ikan harus dibariskan sejajar. Dalam bahasa Batak disebut dekke si mundur, keluarga yang menerima ikan ini diharapkan dapat berjalan sejajar atau beriringan menuju arah dan tujuan yang sama. Sehingga bila ada permasalahan dan rintangan yang menghalangi dapat diselesaikan secara bersama oleh setiap anggota keluarga.
Setelah membaca artikel ini, semoga wawasan kalian semakin bertambah dan semakin mengenal tentang budaya makanan khas Sumatera Utara. Ingat, semakin kita mengenal budaya kita sendiri semakin terpapar juga anak cucu kita nanti akan budaya Indonesia.
bagus banget
BalasHapus